Wednesday, August 19, 2009

~...Bersama Nabi di Bulan Ramadhan...~

Oleh :

Syaikh Muhammad Musa Nasr

Sesungguhnya kita akan menyambut tamu yang mulia, yang hilang dan tidak datang kepada kita melainkan sekali saja dalam setahun. Ia (tamu yang) jarang mengunjungi kita, hingga kita sangat merindu padanya. Tamu yang membuat hati berdebar-debar karena begitu cinta padanya. Leher-leherpun melongok untuk melihatnya, (demikian juga) mata mengamat-amati untuk melihat hilalnya, dan jiwa-jiwa yang beriman beribadah kepada Rabbnya pada saat itu.

Tamu yang mulia dan diberkahi ini telah diketahui dengan pasti oleh orang beriman, karena merekalah yang menunaikan haknya dan mengagungkannya dengan pengagungan yang semestinya, serta memuliakan utusannya secara jujur dan adil.

Sesungguhnya Allah mengangkat derajat tamu ini dalam Al Qur’an dan melalui lisan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , kemudian Allah menjadikan kebaikan seluruhnya ada padanya, baik di awalnya, tengahnya ataupun akhirnya. Allah berfirman :

شَهْرُ رمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan Al qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)” (QS Al-Baqarah :185)

Tidak disangsikan lagi, tentunya anda tahu -wahai saudaraku- siapakah gerangan tamu itu?! Akan diperlihatkan (dalam risalah ini insya Alloh, pent) apa saja kekhususan dan keutamaannya!! Agar anda bersiap sedia untuk menyambut dan menyingsingkan lengan anda secara sungguh-sungguh untuk memperoleh keutamaan-keutamaannya dan agar anda memperoleh apa yang Allah janjikan padanya berupa kebaikan, barakah dan rahmat.

Di bulan inilah Allah menurunkan Al-Qur’an, seandainya tidak ada keutamaan pada bulan Ramadhan melainkan hanya ini saja, niscaya sudah mencukupi. Betapa tidak, di dalamnya terdapat keutamaan yang Allahlah lebih tahu tentangnya, berupa ampunan terhadap dosa-dosa, diangkatnya derajat orang-orang yang beriman, dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan, dan dimaafkannya segala kesalahan, serta Allah membebaskan hamba-hamba-Nya pada tiap malamnya dari neraka.

Bulan Ramadhan adalah bulan dibukanya pintu-pintu surga, ditutupnya pintu-pintu neraka, dan syaithan-syaithan dibelenggu. Pada bulan itu, turun dua malaikat, yang pertama mengatakan: “Wahai orang yang mengharap kebaikan, datanglah!”. Yang kedua mengatakan : “Wahai orang yang mengharap kejahatan, tahanlah!”. Dalam bulan itu terdapat satu malam, barangsiapa diharamkan pada malam itu maka ia telah diharamkan dengan kebaikan yang banyak. Ia adalah suatu malam yang diputuskan setiap perkara yang bijaksana. Sesunguhnya malam itu adalah Lailatul Qodar, yang satu malam di dalamnya lebih baik dari seribu bulan.

Sesungguhnya, mencukupkan diri dengan petunjuk Nabi dalam setiap ketaatan adalah perkara yang sangat penting, khususnya (mencukupkan diri dengan) petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan. Karena amal shalih seseorang tidak diangkat kecuali jika apabila ia ikhlash karena Allah dan hanya mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sesungguhnya ikhlas dan mutaaba’ah (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) merupakan dua syarat esensial diterimanya amal shalih. Keduanya ibarat dua sayap burung, maka alangkah jauhnya (dari realita) jika ada burung yang terbang dengan satu sayap !!

Di dalam risalah ini -wahai para pembaca budiman-, kita akan mempelajari bagaimana keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam bulan Ramadhan secara singkat dan ringkas, dengan harapan agar semoga anda dapat mengetahui dengan jelas petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ketahuilah, barangsiapa yang tidak bersama Rasul di dalam mengikuti petunjuknya di dunia ini, niscaya dia tidak akan bersama beliau di akhirat kelak. Karena setiap kesuksesan ada pada ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam baik secara zhahir maupun bathin, dan hal ini tidak akan diperoleh kecuali dengan ilmu yang bermanfaat, dan ilmu yang bermanfaat tidak bakal dapat dicapai melainkan dengan amal yang shalih. Maka buah ilmu yang bermanfaat adalah amal yang shalih.

Wahai hamba Allah, inilah penjelasan sebagian keadaan-keadaan Rasulullah dan petunjuk beliau dalam bulan Ramadhan [Hadits-hadits yang terdapat dalam makalah ini adalah hadits-hadits shahih, sebagian besar terdapat dalam shahih Bukahri dan Muslim, atau salah satu dari keduanya], agar anda dapat meneladaninya sehingga anda memperoleh kecintaan kepadanya dan dikumpulkan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kelak.

Berikut ini kami kemukakan beberapa keadaan dan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di bulan Ramadhan :

  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa hingga ru’yah (melihat) hilal dengan penglihatan yang pasti, atau dari berita seorang yang adil dalam penentuan awal bulan Ramadhan, atau menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam merasa cukup dengan persaksian satu orang, ini merupakan hujjah diterimanya khabar ahad. Tersebut dalam hadits shahih bahwa kaum muslimin berpuasa hanya dengan ru’yah yang dilakukan oleh seorang Arab Badui yang datang dari padang pasir, kemudian ia memberitahukan kepada Nabi bahwa ia telah melihat hilal, maka beliau memerintahkan Bilal agar mengumumkan untuk puasa.

  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang umatnya untuk mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya) dengan alasan berhati-hati, kecuali apabila ia merupakan kebiasaan salah seorang diantara kalian, oleh karena itu dilarang berpuasa pada hari yang diragukan.

  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berniat puasa pada malam hari sebelum fajar dan memerintahkan kepada umatnya (untuk berniat), dan hukum ini khusus untuk puasa wajib. Adapun puasa nafilah (sunnah) maka tidak wajib.

  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menahan dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa hingga ia melihat fajar shadiq dengan penglihatan yang pasti, sebagai pengimplementasian firman Allah :

كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” (Al Baqarah : 187)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menerangkan pada umatnya bahwa fajar ada dua yaitu shadiq dan kadzib. Selama fajar kadzib, tidak diharamkan makan, minum dan jima’. Rasulullah tidak pernah memberatkan umatnya baik dalam bulan Ramadhan atau selainnya, beliau tidak pernah mensyariatkan apa yang dinamakan oleh kaum muslimin ini sebagai adzan (seruan) imsak.

  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, serta memerintahkan umatnya untuk melaksanakan hal ini. Beliau bersabda :

لاَ تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفُطُوْرَ

Senantiasa umatku selalu selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”.

  • Jarak antara sahur beliau dan shalat fajar (shubuh) adalah kurang lebih seperti membaca 50 ayat.

  • Adapun tentang akhlak beliau, maka ceritakanlah dan tidak mengapa. Sungguh Rasulullah adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Betapa tidak, padahal sungguh akhlak beliau adalah Al-Qur’an, sebagaimana disifatkan oleh Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau telah memerintahkan umatnya supaya berakhlak baik, terlebih lagi bagi orang yang sedang berpuasa, beliau bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَعَمِلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةً فِى أَنْ يَدَعْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan melakukannya, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makanan dan minumannya”.

  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjaga keluarganya dan memperbaiki cara bergaulnya dengan mereka pada bulan Ramadhan melebihi bulan lainnya.

  • Puasa yang beliau kerjakan tidak menghalanginya mencium istri-istrinya atau menyentuh mereka. Namun beliau adalah seorang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya.

  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak meninggalkan siwak baik pada bulan Ramadhan atau selain bulan Ramadhan, beliau senantiasa mensucikan mulutnya.

  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam dalam keadaan berpuasa, dan beliau memberi keringanan bagi orang yang bepuasa untuk berbekam, adapun hadits yang menyelisihi hal ini telah mansukh (terhapus).

  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berjihad di bulan Ramadhan, dan memerintahkan sahabatnya untuk berbuka agar kuat dalam menghadapi musuh.

  • Diantara rahmat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada umatnya, yaitu bagi musafir diberi keringanan untuk tidak berpuasa, demikian juga orang yang sakit, laki-laki dan perempuan tua (jompo), perempuan hamil dan menyusui. Bagi musafir harus mengganti puasanya (dihari lain), sedangkan orang yang sudah lanjut usia, perempuan hamil atau menyusui yang khawatir terhadap diri dan bayinya, maka ia mengganti puasanya dengan memberi makan (fakir miskin).

  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh dalam ibadah dan shalat malam pada bulan Ramadhan melebihi kesungguhannya pada bulan-bulan lainnya, terutama pada 10 malam terakhir, beliau mencari Lailatul Qodar.

  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf pada bulan Ramadhan, khususnya 10 hari yang terakhir. Pada tahun dimana beliau wafat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf selama 20 hari. Beliau tidaklah beri’tikaf melainkan dalam keadaan berpuasa.

  • Adapun dalam hal mengulangi (bacaan) Al-Qur’an, maka tidak ada seorangpun yang memiliki kesungguhan seperti kesungguhan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jibril menemui beliau untuk mengulangi Al Qur’an dalam bulan Ramadhan, dikarenakan bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an.

  • Adapun kedermawanan beliau dalam bulan Ramadhan tidaklah dapat digambarkan. Beliau seperti angin yang berhembus (membawa kebaikan), sebagaimana keadaan orang yang tidak takut miskin.

  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah mujahidin yang paling agung, puasa tidaklah menjadi penghalang baginya dari mengikuti peperangan-peperangan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengikuti 6 peperangan dalam 9 tahun, semuanya di bulan Ramadhan. Demikian pula beliau melakukan amalan-amalan yang besar di bulan Ramadhan, diantaranya penghancuran Masjid Dhirar (masjid yang didirikan orang-orang munafik), penghancuran berhala terbesar di Jazirah Arab, menyambut utusan-utusan, menikah dengan Hafshah Ummul Mu’minin, dan membebaskan kota Mekkah (dari kekuasaan musyrikin) pada bulan Ramadhan.

Ringkasan : Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan, bulan jihad dan bulan pengorbanan bagi kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak sebagaimana yang difahami oleh mayoritas kaum muslimin pada zaman ini, yang memahami bulan Ramadhan adalah bulan istirahat, bulan bermalas-malasan, kelemahan dan pengangguran.

Ya Allah berilah petunjuk kepada kami untuk mengikuti Nabi-Mu dan hidupkanlah kami di atas sunnahnya, dan wafatkan kami diatas syariatnya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

(dialihbahasakan dari Majalah Al-Ashalah edisi III hal 66-69)

disalin dari ;
http://abusalma.wordpress.com/2007/08/20/bersama-nabi-di-bulan-ramadhan/

Monday, August 17, 2009

~TURNING POINT-edisi muslimah~

oleh : ummu Sumayyah

Kepada sahabat-sahabat, teman-teman sebaya juga sesiapa juga yang berjaya menamatkan pengajian dan berkonvokesyen dalam minggu dan bulan ini tidak kira apa juga peringkat sama ada diploma, ijazah, ijazah sarjana dan Phd, Syabas dan Tahniah diucapkan. Terutama graduan dari Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tg.Malim Perak. Lepas nie bagi yang belum puas dengan Sarjana Muda pasti akan menyambung Ijazah Sarjana dan tidak kurang ramainya yang bakal mendapat penempatan di medan baru sebagai insan bergelar ‘CIKGU’…


Walau bagaimana keadaan anda semoga cita-cita sebenar kita bukanlah setakat mendapat sijil ikhtisas dan mendapat kerja sebagai guru. Mengimbau semula ketika zaman persekolahan dahulu apabila cikgu bertanya cita-cita nak jadi apa, selain mengatakan terus kerjaya yang diminati ramai juga memberitahu nak belajar hingga berjaya ke menara gading…dan sekarang jika ditanya cita-cita kalian apa agaknya yang kalian citakan? Dapat kerja beli kereta, nikah, beli rumah, aksesori kecantikan dan sebagainya???

Semasa bersolat di surau An-Nur kelihatan sepasang sahabat muslimah sedang rancak berbual mengenai perancangan mereka selepas konvokesyen, kedudukan mereka yang berhampiran denganku menjadikan butir bicara mereka jelas kedengaran, apa yang tertarik apabila salah seorang dari mereka berkata yang lebih kurang begini ‘mak aku kata nanti da kerja gaji pertama jangan guna sangat, simpan sehinga beberapa bulan dan beli kereta cash terus’…’mak aku join koperasi melayu,…’ sebenar tak faham sangat apa yang dimaksudkan. Namun fenomena yang boleh ana meramalkan adalah pasti ‘aim’ mereka lepas nie selain nikah mungkin kumpul harta banyak-banyak. Ana tidak memandang pesimis malah melihat kewajaran fikiran mereka.


Namun, kembali kepada tajuk, ana ingin berkongsi dan mengajak para muslimah/wanita hari ini berfikir apakah peranan kita yang sebenar dari kaca mata Al-Quran dan As-Sunnah? Hakikat penciptaan dan cita-cita yang tertinggi yang sepatutnya bagi seorang Muslimah.


Alhamdulillah atas kelapangan masa yang Allah Taala beri untuk ana menghadiri Forum Nisa’ yang dianjurkan oleh biro pembangunan dan sahsiah Majlis Perwakilan Pelajar UPSI 08/09 yang diadakan setiap minggu pada hari jumaat jam 12.30-2petang. Namun atas komitmen yang ada sudah dua kali terlepas peluang mengukuti. Syabas dan Tahniah juga kepada ajk yang berusaha menganjurkannya. Apapun sebenar ana tertarik dengan topik dan kupasan minggu pertama Forum Nisa’ mengenai ‘Rahsia dan tanggungjawab wanita dari persepsi ibu, isteri dan anak’. Apa yang menarik ahli panel yang membentangkan tajuk tersebut merupakan bekas pensyarah dan kini menumpukan kerjaya sepenuhnya terhadap pendidikan anak-anak yang sedang membesar. Tabik spring atas pengorbanan yang dilakukan, dan menurut beliau bila anak-anak da besar mungkin beliau akan menyambung kerjayanya. ‘siapa disini bercita-cita menjadi suri rumah sepenuh masa?’ pertanyaan kali pertama beliau kepada audiens. Tiada respons dari semua muslimat. Mungkin mereka terkejut dengan soalan yang diutarakan. ‘apalah ustazah nie orang da penat-penat berjuang nak masuk upsi sebab senang dapat kerja, tiba-tiba tanya soalan macam nie pula’ mungkin ini antara ngomelan yang ada dalam benak sesetengah hadirin. Rasional soalan ditanya sebenar mungkin ustazah tersebut ingin melihat sejauhmana muslimat hari ini faham akan peranan mereka yang diciptakan sebagai kaum hawa.

Apa yang ingin dibawakan di sini adalah kaitan isi forum tersebut dengan hala tuju muslimat sebenar yang ingin ana perkatakan di sini. Minggu lepas Alhamdulillah ana berkesempatan lagi menghadiri diskusi hala tuju muslimat mengikut kaca mata al-Quran dan as-Sunnah yang disampaikan oleh seorang ustaz yang merupakan ahli panel aqidah dalam sebuah forum. Sangat menarik kupasan beliau. Rungkaian dan kaitan diskusi tersebut bagi ana menambahkan lagi pokok hakikat wanita di sisi islam. Sukalah ana berkongsi secara ringkasan di sini iaitu :

1. Peranan sebenar wanita secara asasnya adalah duduk di rumah kecuali ada kepentingan dan agenda.

“dan hendaklah kamu tetap berada di rumah-rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan berlaku seperti orang-orang jahiliyah yang terdahulu, dan dirikanlah solat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab 33: 33)

2. Tips nak masuk syurga bagi wanita mudah je..Taat Allah Taala, Rasulullah dan suami.
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”
Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.

3. Nak jadi solehah? Kayakan diri dengan ilmu syarie (agama)…

Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radiallahu anha, Rasulullah shalallahu alayhi wasalam bersabda;
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, maka Allah menjadikannya faqih tentang agama.” –kitab Ash-Shahihain dan selain keduannya.

Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radiallahu anha, Rasulullah shalallahu alayhi wasalam bersabda;
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju Syurga.”

Firman Allah Azzawajalla ;
“Nescaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa darjat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Mujaadilah :11)

4. Peranan wanita dalam merosak dan memperbaiki masyarakat.


Tidakkah kalian saudari muslimatku menyedari kadang-kala tanpa disedari kita menjerumuskan orang lain kepada dosa? Hakikatnya wanita itu membawa fitnah yang besar.
Al-Imam Al-Bukhari rahimullah berkata (9/5096):


Adam mengabarkan kepada kami, dia berkata: Syu’bah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sulaiman At-Taimi mengabarkan kepada kami, dia berkata: Saya mendengar Abu’Utsman An-Nahdi dari Usamah bin Zaid radiullahu anha, dari Nabi shalallahu alayhi wasalam bersabda:

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada fitnah para wanita.”
Muslim meriwayatkannya (4/2097), juga At-Tirmidzi no. (2780) dan dia berkata: “Hadith hasan Shahih”, serta Ibnu Majah no.(3998).


Firman Allah Azzawajallaj:
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, iaitu wanita-wanita…” (Ali-Imran:14)


Tidakkah terbit rasa bersalah kalian apabila pernah berkawan dengan lelaki yang bukan muhrim lalu memberi ruang dan peluang kepada mereka berbual kosong dengan kita walaupun menerusi telefon, pada diri anda hal itu biasa dan tidak melemahkan perasan tetapi tidakkah anda menyedari mungkin kelunakan suara wanita ini atau kemanisan senyuman yang diberikan telah melalaikan lelaki tersebut ketika di dalam solat mengadap Allah Taala?

Namun jangan saudari bimbang jika saudari tergolong dalam barisan muslimat yang mahu mengislahkan diri, teruskan pencarian ilmu dan terus beramal dan rangka memperelokkan ibadah kita semata-mata mengharapkan rahmat dan redha ILLAHI ROBBI.

Peranan muslimat dalam memperbaiki masyarakat pula sangat-sangat penting. Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimullah dalam buku Daurul Mar’ah fi ishlahi Mujtama’, yang dipetik dari majalah al-Mawaddah terbitan Lajnah Dakwah Ma’had al-Furqon al-islami; peranan seorang muslim dalam memperbaiki masyarakat terbahagi kepada dua bentuk,
Pertama, peranan secara langsung ke lapangan dakwah seperti memperbaiki keadaan pasar, masjid, dan semua urusan yang memerlukan keperluan secara langsung. Perbuatan ini ialah yang layak dilakukan oleh kaum lelaki kerana merekalah yang biasanya mengerjakan hal-hal sebegini.


Kedua, peranan disebalik tabir. Maksudnya, usaha memperbaiki masyarakat namun dari rumah masing-masing. Hal ini ialah yang layak dilakukan oleh kaum wanita, kerana memang dia adalah penjaga rumah tangga, sebagaimana firman Allah Taala saat memerintahkan isteri Rasulullah shalallahu alayhi wasalam:

“dan hendaklah kamu tetap berada di rumah-rumahmu, dan ja nganlah kamu berhias dan berlaku seperti orang-orang jahiliyyah yang terdahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab 33: 33)

Walaubagaimanapun, bukanlah sesuatu yang berlebihan atau menyalahi fitrah wanita apabila wanita bergiat dalam lapangan dakwah secara langsung, hal ini kerana zaman ini jumlah kaum wanita melebihi kaum lelaki, maka sewajarnya wanita sama-sama berkongsi ilmu dengan niat memperbaiki sesama wanita. Walhal hakikat wanita sebagai ibu tidak dapat dinafikan mereka adalah madrasah atau sekolah pertama bagi setiap anak-anak.

Bagi bakal cikgu-cikgu adakah anda bersedia memperbaiki anak-anak atau adik-adik remaja kita disekolah nanti? Atau anda berasa itu bukan tanggungjawab anda, kerana anda belajar di Universiti atau Institusi Pendidikan Guru hanya untuk mengajar mengikut subjek atau bidang yang diberi dan cukup bulan terima gaji…? Semoga medan pendidikan yang bakal diceburi kelak bukanlah semata-mata kita mencari keuntungan duniawi atau mencukupkan syarat untuk berkerjaya tetapi sama-sama kita beringat selain tangungjawab membentuk modal insan ruang dan bidang ini ibarat sebuah ladang untuk kita meraih hasil di hari akhirat kelak atau kata lainnya saham akhirat, namun itu hanya jika kita meletakkan cita-cita tertinggi iaitu meraih rahmat dan redha ILLAHI ROBBI…(cita-citaku suri rumah profesional???=))

Allahu’alam bisawab~

Sumber rujukan : terjemahan kitab ‘Nashihatiy lin Nisaa’ karya Ummu Abdillah Al-Wadiyyah, putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi rahimullah.
Majalah al-Mawaddah (
www.almawaddah.or.id) terbitan Lajnah Dakwah Ma’had al-Furqon al-islami.

12 OGOS 2009
p/s: posting yang terlewat lagi….

~mana perginya pejuang itu?~

sahabat-sahabatku di mana kalian?
kalian yang pernah menyirami lembah yang kegersangan suatu masa dulu,
kalian yang pernah menabur baja-baja zikrullah pada hati yang tandus cahaya ILLAHI RABBI,
kalian yang bersemangat menegakkan syariat islam dalam diri,
kalian jugalah yang menjadi pendorong diri untuk menuju cahaya itu....
ke mana kini arah hidup kalian?
kini apa pula tujuan dan matlamat hidup kalian?
apa yang kalian cari?
apa yang kalian buru?
apa yang kaliah mahu?
aku tak faham...
kerna aku sedih...,sedih...kecewa...
sedih melihat susuk tubuh yang suatu masa dulu sangat menjaga auratnya,
susuk tubuh yang suatu masa dulu tak pernah basah lidahnya dari
mengucapkan kalamullah,
hampir tiap-tiap malam mengimarahkan surau untuk menyuluh jalan kelam buat adik-adik,
seorang muslimat contoh,
seorang muslimin harapan,
tapi kini,
pakaian hanya untuk fesyen,
menutup tubuh tapi ibarat membalut tubuh,
mengatakan apabila lelaki dan perempuan yang bukan muhrim berduaan pasti ada yang ketiga iaitu syaitan, tapi kalian masing-masing cakap tak serupa bikin,
aku tak pasti..
kerna aku tidak mahu bersangka buruk dengan sahabatku,
tapi kepastian itu datang dengan luahanmu yang bosan untuk jadi baik..
luahanmu yang rebah dengan ujian yang bertubi sejak awal usia,
gaya hidupmu juga seleramu kini,
aku rasa bersalah,
kerna pernah dulu kau menemaniku disaatku teraba-raba mencari arah tujuan,
disaatku lemah kau menyirami mutiara nasihat, bahawa hidup itu ibarat ladang hasilnya akan dituai di'sana' nanti...
usaha itu ibarat petani yang setiap hari bercucuk tanam dan menjaga tanaman,
kadang ada yang menjadi kadang ada yang mati...
Ya Allahu Rabbi,
berikan sahabat-sahabat kesayanganku petunjuk dan hidayah...
bimbinglah mereka ke jalan orang-orang yang Engkau redhai,
tambahkan mereka ilmu Syari'e agar mereka kenali hakikat diri,
berikan mereka perasaan malu kepadamu,
berikan mereka rasa gelisah dengan dosa dan tenang dengan kebaikan,
jadikan mereka insan soleh,
Ya Allah Ya Mujib,
berikanlah mereka kesudahan hidup yang lebih baik...
ameen Ya Rabbal Alameen....
~luahan hati ezyda'legend~

Thursday, August 13, 2009

~...Yang Datang dengan Kebaikan...~

Penulis: Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Tak sedikit wanita di masa ini yang telah menanggalkan rasa malunya. Dari caranya berbusana, bergaul, dan gaya hidup ‘modern’ lainnya, setidaknya memberikan gambaran fenomena dimaksud. Padahal, Islam telah menjadikan sifat malu ini sebagai sifat mulia, bahkan merupakan salah satu cabang keimanan.

Sifat malu memang identik dengan wanita karena merekalah yang dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun disukai bila memiliki sifat malu. Bahkan sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor kebahagiaan seorang insan. Karena dengan sifat ini, hanya kebaikanlah yang bakal diraupnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ

“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.”
Dalam satu riwayat:

الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ

“Malu itu baik seluruhnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)Saudariku muslimah…
Adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Bila malu ini hilang dari diri seseorang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, ketika sendirian maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itulah bersabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأْوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ

“Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat pemalu sehingga shahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدُّ حَيَاءً مِنَ الْعُذَرَاءِ فِي خِدْرِهَا

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada dalam pingitannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah merahmati Abu Sa’id Al-Khudri, di mana beliau membuat permisalan untuk kita dengan gadis perawan. Lalu apa gerangan yang akan beliau katakan bila melihat pada hari ini gadis perawan itu telah menanggalkan rasa malunya dan meninggalkan tempat pingitannya? Ia pergi keluar rumahnya dengan hanya ditemani sopir pribadi. Ia pergi ke pasar, berbincang-bincang akrab dengan para pedagang dan penjahit, dan sebagainya. Demikian kenyataan pahit yang ada.

Sebagian kaum muslimin juga membiarkan putri-putri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah-sekolah dan di tempat kerja. Karena telah tercabut dari mereka rasa malu dan sedikit ghirah (kecemburuan) yang tertinggal.

Bila malu ini telah hilang dari diri seorang insan, ia akan melangkah dari satu kejelekan kepada yang lebih jelek lagi, dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada hakekatnya adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang Allah ta`ala haramkan dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Apakah pantas seseorang disifati malu sementara matanya digunakan untuk melihat perkara yang Allah haramkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidah masih digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat? Apakah pantas digelari malu, bila nikmat berupa pendengaran digunakan untuk menikmati musik dan nyanyian?

Saudariku muslimah…
wajib bagi kita untuk terus merasakan pengawasan Allah dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan tempat.

Kala dikau sendiri dalam kegelapanSedang jiwa mengajakmu tuk berbuat nistaMaka malulah dikau dari pandangan Al-IlahDan katakan pada jiwamu:Dzat yang menciptakan kegelapan ini senantiasa melihatku

Seorang muslim yang jujur dalam keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah dicabik tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya.

Saudariku muslimah…
bila engkau telah mengetahui pentingnya sifat malu, maka berupayalah untuk menumbuhkannya di hati keluarga dan anak-anak. Karena ketika malu ini masih ada, maka akan terasa betapa besar dan jelek perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan senantiasa mereka agungkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati seseorang yang tengah mencela saudaranya karena sifat malunya, maka beliau bersabda:

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيْمَانِ

“Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Jama`ah)

Saudariku muslimah…
perlu engkau ketahui bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat malu bila engkau diam ketika melihat kebatilan, engkau enggan menolong orang yang terzalimi, dan berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan pula termasuk sifat malu bila engkau tidak mau bertanya tentang perkara agama yang samar bagimu, karena Allah ta`ala berfirman:

فَسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

“Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata ketika itu: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

نَعَمْ, إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ

“Ya, jika ia melihat keluarnya air mani.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya? Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal-hal yang berkaitan dengan agamanya, akan tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan dengan sopir dan berbincang-bincang dengan pedagang, ataupun memperlihatkan auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.

Ketahuilah wahai saudariku…
tidak sepantasnya kita malu dari suatu perkara yang bisa membawa kepada kebaikan. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan: “Datang seorang wanita menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam guna menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh beliau. Wanita itu berkata: “Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?”

Seorang putri Anas, ketika mendengar kisah ini, berkomentar tentang wanita itu:

“Alangkah sedikit rasa malunya!”Anas berkata: “Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).”
(Shahih, HR. Al-Bukhari secara makna)

Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita sifat malu yang membawa kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak. Amin…!

Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.

(Diterjemahkan secara ringkas oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan, hal. 453-457, yang ditulis oleh beberapa penuntut ilmu di Qashim, Saudi Arabia)

Sumber:
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=165
dipetik :
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/akhlak-adab/malu/#more-1111